BREAKING

Cerita

Source: http://derita3tahun.blogspot.com/2011/10/hancurnya-bahtera-rumah-tangga.html


HANCURNYA BAHTERA RUMAH TANGGA

Kehidupan memang sulit di tebak karena tidak selamanya berada dalam satu keadaan. Kadang diatas dengan posisi yang mengenakan, kadang juga berada di bawah yang amat sangat tidak membuat hati dan keadaan terasa nyaman. Hal ini bisa terjadi di semua lini kehidupan termasuk dalam Rumah Tangga. Pasang surut keadaan pasti menimpasemua orang dan semua keluarga. Yang terkadang badai menerjang tidak peduli apakah sedang dalam keadaan pasang ataupun dalam keadaan surut. Hanya dua sikap yang bisa menangani dan menghalau segala bentuk terpaan yaitu ketabahan dan kesabaran yang landasi oleh keimanan.

Kenyamanan, ketentraman, keharmonisan dalam rumah tangga sangat kami rasakan di saat itu. Suka duka kami jalani bersama. Tak sedikitpun ada sanggahan maupun celaan yang di perbuat oleh kami semua nya ya dan oke. Dengan keadaan ekonomi yang apa adanya kami hidup berumah tangga dengan damai dan tentram karena itulah tujuan kami berumah tangga, ingin mencapai ketenangan , ketentraman dan kebahagiaan. Keadaan ini terus berlanjut sampai kami seorang anak dambaan hati belahan jiwa.

Tak pernah diantara kami terdapat sedikitpun bibit-bibit pertengkaran. Walau ekonomi keluarga kami pas-pasan tapi kami masih bisa menyisihkan untuk bekal dimasa yang akan datang. Dari hasil usaha kami sebagai buruh pelayan toko sedikit sedikit kami coba kumpulkan. Hingga kehidupan rumah tangga kami pun tak begitu hina dimata orang lain.

Lima tahun sudah usia anak kami yang kami asuh dan kami didik dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang teramat sangat, maklum anak pertama. Apapun kebutuhan dan keperluan anak kami selalu kami penuhi. Sampai dia berkeinginan untuk bersekolah di taman kanak-kanak pun kami turuti dengan penuh kebanggaan.

Namun ternyata kehidupan yang diharapkan tidak sesuai dengan yang telah digariskanNya.

Ketika anak pertama kami berusia 5 tahun, dia terserang penyakit Demam Berdarah. Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, kami upayakan agar anak kami bisa sembuh kembali. Tapi, sekali lagi bahwa keadaan yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan yang telah di gariskan. Walaupun kami telah sekuat tenaga dan kemampuan agar anak kami sembuh dan sehat kembali namun Allah berkata lain. Dalam usianya yang masih 5 tahun dia telah dipanggil oleh sang Qolik.

Sejak meninggalnya anak kami itu hari – hari dilalui dengan penuh kesedihan. Tiada hari tanpa melamun mungkin itu yang tepat kegiatan kami sehari-hari. Namun berkat nasehat dari majikan agar semuanya terlupakan maka aktifitas kerjapun mulai di lakukan kembali. Tapi walau bagaimana, kesedihan tetap menggelayut dalam hati.

Kemana harus melangkah dan dengan apa kegiatan yang dapat menghilangkan kesedihan itu? Apakah harus selamanya terbuai dalam lamunan? Rasanya itu tak mungkin kami jalani selamanya. Akhirnya guna mencari hiburan hati namun tidak mengganggu aktifitas dan tetap dalam jalur yang tidak menyimpang kami pun membeli sebuah Handy Talky. Tujuannya tidak lain untuk mengobati kesedihan hati. Dengan barang tersebut kami pun bisa berkomunikasi dengan teman-teman, canda tawapun mulai hadir kembali dalam diri kami. Kesedihan jadi terlupakan walau hanya sesaat, hanya pada waktu lagi memegang barang tersebut. Kami pun kembali hidup penuh keceriaan.

Tapi ternyata apa yang kami lakukan dan segala perubahan dari penuh dengan kesedihan menjadi sebuah keceriaan mendapat respon yang kurang baik dari sang istri. Keceriaan itu dia anggap sebagai pelupaan terhadap anak yang sudah tiada. Walaupun telah kami ceritakan apa tujuan sebenarnya memiliki benda tersebut dan Alhamdulillah dengan benda tersebut rasa kesedihan jadi sirna. Tapi tetap saja dia tidak mengerti. Akhirnya kami pun mengalah demi kebaikan bersama. Benda akhirnya kujual dan sebagai gantinya aku beli Radio. Kini hanya radio sebagai teman hibura.

Ternyata radio pun menjadi masalah dalam rumah tangga kami. Radio dianggap menimbulkan kebisingan. Setiap radio itu bunyi maka sikap istri jadi berubah, seolah-olah dia berfikir kalo aku lebih mementingkan radio. Bahkan pada suatu saat waktu aku lagi mendengarkan musik sambil tiduran dia sedikit membentak bilang “berisik”. Gak tahu saking kesal nya kami , gak tahu saking dah gak kuat menahan kesabaran, aku ambil obeng dan di hujamkan ke radio itu selanjutnya ku banting radionya. Sambil menahan emosi aku berkata “ apa sih maunya kamu, begini salah begitu salah ( naon sih kahayang maneh, kieu salah kitu salah), lalu akupun melanjutkan tidur.

Berawal dari kejadian itu maka percikan – percikan dan benturan – benturan kecil sering terjadi dalam rumah tangga. Namun tetap dalam kontrol, artinya segala kejadian dalam rumah tangga selalu di redam jangan sampai orang tahu.

Sampai kami memiliki anak yang kedua pertengkaran sering terjadi. Semua aktifitas saya selalu dalam kekangan nya. Jangan kan aktifitas yang ssia-sia (main), bekerja pun selalu di kekang, hal ini terbukti dengan kata-kata dia bahwa anak kurang bapak karena saya kerja berangkat pagi (jam 06.30) pulang sore (jam 17.30). saya pun menerangkan nya bahwa itu resiko kerja di orang lain, waktu tidak bebas tapi harus menuruti peraturan namun apa jawabnya ? “ digawe mah umum na ge ti jam 08 – jam 16”. Saya pun tidak bisa berkata lagi demi menghindari pertengkaran. Hampir tiap hari ada saja yang bikin benturan kecil yang entah diawali dari saya maupun istri saya.

Akhirnya demi keutuhan rumah tangga dan demi ketenangan batin sang istri saya pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaan. Dan selanjutnya demi mengisi kekosongan dan demi sesuap nasi saya pun menjadi sales keliling menjual alat tulis ke toko-toko. Alhamdulillah berdagang keliling ini agak mengalami peningkatan. Hingga pada suatu hari kami berembuk “ andai saja sarana transportasi di tingkatkan mungkinkah pendapatan pun meningkat?’

Akhirnya dengan persetujuan bersama, kami pun mengambil cicilan motor dengan motor yang lama sebagai DP nya. Dan alhamdulillah setelah beberapa bulan berjalan, usaha sebagai sales keliling dengan motor baru itu hasilnya tidak mengecewakan. Tapi yang namanya usaha perdagangan berbrda dengan bekerja pada orang lain. Dalam dunia usaha ada istilah pasang surut. Diwaktu pasang terkadang terlena, dan diwaktu sedang surut kebiasaan selagi pasang terus terbawa. Begitupun kami.

Pada waktu usaha kami lagi lancar kami terlalu royal, tapi di waktu surut keroyalan pun tetap berjalan tak dapat dibendung. Hal ini bukan tanpa upaya untuk membendungnya, kami sangat berusaha tapi apalah daya upaya itu tidak membuahkan hasil.

Saat kami berusaha membendung derasnya arus keroyalan malah mendapat jawaban “kader ge ku anak pamajikan di penta nage”. Bahkan tidak itu saja, saat kami menitipkan uang untuk jaga jaga setor atau belanja lagi, ketika di pinta titipanya itu malah gak bisa kembali. Bahkan ada perkataan “ari batur mah di berean bae duit teh, boga duit mah bikeun bae ka anak pamajikan”, padahal uang tersebut persediaan buat belanja atau pun cicilan motor. Atas dasar itulah lama kelamaan dengan otomatis modal usaha pun makin lama makin melorot, cicilan pun semakin terlambat di bayar.

Dengan bantuan teman (majikan dimana tempat kami menjadi sales) walau pun keadaan sedang kembang kempis tapi kami selalu di suport dengan di berinya pinjaman barang dagangan. Tapi sayang walau pun itu semua barang pinjaman tapi yang di rumah tidak tahu menahu, pokok nya untuk resiko dapur gak tahu itu pinjaman ataupun bukan karenanya kebaikan majikan itu tidak mengangkat nasib kami bahkan kami semakin terlilit. Yang pada akhirnya kami pun BANGKRUT.

Dalam situasi itu kami berusaha sabar namun tidak diam , selalu berfikir bagai mana caranya supaya bangkit kembali, tai sayang semakin lama bukan mendapat solusi bahkan semakin terlilit saja. Dan dalam situasi tersebut benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Kepada siapa harus mengadu, kami tak tahu. Kesabaran luar biasa telah kami lakukan demi keutuhan rumah tangga.

Lamaran kerja kesana sini pun telah di sebar baik itu ke kota terdekat maupun ke bandung. Lamaran ke Bandung ternyata di terima. Saya bekerja di bandung sebagai sales elektronik. Di Bandung saya menginap di seorang tetangga yang kebetulan dia bekerja di bandung sebagai penunggu rumah majikannya. Disana saya sering curhat tentang kehidupan dan keadaan rumah tangga. Beberapa hari menjalani hidup sebagai sales elektronik ternyata tidak membuahkan hasil, akhirnya keluar dan pulang lagi ke kampung halaman.

Kendaraan yang merupakan kendaraan cicilan pun di gadaikan ke orang lain yang hasil gadaiannya di gunakan untuk bayar cicilan.

Dalam situasi yang serba kepepet,saya diajak merantau oleh sahabat setia ke luar pulau. Dengan satu tujuan mudah-mudahan ada rizky di perantauan yang bisa digunakan untuk kelangsungan hidup. Dan saya pun berjanji untuk mengirimkan uang ke sang istri apabila ada hasilnya dari usaha di perantauan kelak. Kepergian saya kesana menggunakan uang hasil menggadaikan TV ke pegadaian dan sekurangnya di tambahkan oleh sahabat saya itu.

Mulailah saya mengais rizky di negeri orang sebagai Pedagang Kaki Lima. Hari demi hari saya lalui dengan tak putus putusnya berusaha dan berdo’a. Namun karena berbagai alasan (mungkin karena belum ada pengalaman sebagai PKL) hasilnya baru cukup buat makan sehari-hari. Setelah jelang beberapa bulan baru lah saya bisa mengirimkan uang ke kampung halaman sejumlah yang jauh dari kebutuhan, yakni hanya Rp. 100.000 yang itupun di susul dengan kabar yang tidak mengenakan, yakni tersiar kabar bahwa saya mengirimkan uang ke rumah jumlah nya Rp. 1.000.000 sedangkan setoran ke bendaharanya sangat kecil, hingga boss besar menanyakan ke saya, namun saya tidak memikirkan kabar itu karena ada saksi dan waktu pengiriman nya pun di sertai oleh bendahara di perantauandan ada slip pengirimannya. Selanjut nya kiriman jarang dilakukan, karena itu tadi saya kesulitan menghasilkan uang sesuai harapan.

Selama di perantauan masalah pun timbul kembali. Motor di tarik dan harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 800.000 dan sudah di talangi oleh mertua dari hasil penjualan padi.

Tibalah saatnya saya harus pulang ke kampung halaman. Kepulangan kekampung halaman yang tidak disertai dengan membawa hasil, malunya luar biasa. Namun ada yang bisa mengurangi rasa malu dan kekecewaan hati saya karena sang istri dengan penuh kesabaran dan kesadaran masih mau menerima kenyataan yang ada. Lain istri lain mertua. Mereka seakan tidak menerima keadaan tersebut. Entah karena utang Rp. 800.000 entah karena pokoknya sikapnya malah lebih parah dri sebelumnya. Mungkin juga karena faktor surat yang pernah dikirim kan dari perantauan itu.

Surat yang dikirimkan dulu dari perantauan merupakan surat teguran dari saya untuk mertua dan istri saya. Surat teguran itu merupakan buah dari istri saya yang bekerja di cirebon tanpa terlebih dahulu memberitahu saya sebagai suaminya. Yang isi surat tersebut kurang lebihnya berinti (maaf saya lupa detailnya).

“ terlalu gegabah seorang wanita dengan tanpa izin suami dan tanpa diketahui oleh suaminya pergi jauh bahkan sampai nginap segala. Ini tak pantas dilakukan oleh seorang wanita. Dan seharus nya orang tua dapat menasihati anaknya jangan sampai melakukan hal ini apapun keadaanya “. Begitulah inti dari surat saya itu.

Dua bulan dari sekembalinya dari perantauan saya hidup dengan tanpa kerjaan. Keuangan drop sekali sampai jangan kan untuk belanja, untuk makan saja tidak kami miliki sampai sampai saya harus mengemis ke adik atau kakak Cuma untuk makan. Banyak teman yang dianggap memiliki kemampuan ekonomi tapi nyatanya keadaanya sama saja dengan saya tidak punya saat saya bilang mau pinjem. Pernah suatu ketika karena perut terasa lapar dan makanan gak ada saya harus makan rebus daun pace guna sekedar mengisi perut.

Adakah orang lain yang peduli terhadap keadaan saya yang sedang terpuruk ?

Adakan tetangga / sodara / yang mau memberikan solusi saat rumah tanggaku kacau?

Adakah di antara mereka yang mau memberikan solusi ?

Jawaban nya adalah “TIDAK ADA”.

Hingga pada suatu ketika saya melihat istri saya morang maring tanpa sebab yang aku sadari. Dengan perasaan yang terheran-heran saya pun bertanya kepadanya kenapa bersikap seperti itu. Jawaban nya saya butuh uang, saya butuh makan. Saya pun menasihatinya dan memberitahu kalau selama ini saya pun kesana kemari mencari kerja. Dia pun bicara “ tapi mana hasilna . cukul ngalayab na bae”. Saya jawab lagi mungkin belum waktunya. Kata dia “terus kapan ?“ saya jawab ya enggak tau, insya Allah saya mau ngadoa sambil usaha mencari kerja. Dia pun menjawab “ teu butuh do’a” . Nah kalimat terakhir yang membuat emosi saya jadi memuncak dan tak terbendung. Saya berkata kepada dia :

“ manehmah geuss terlalu, ngaremehkeun pangeran aing, aing teh rek ngadoa teh menta ka pangeran. Geus arikitu mah aing rek indit neangan duit kumaha bae carana jeung ka endi bae. Tong diteangan, aing moal balik samemeh aing mawa duit jang maneh “.

Saya pun mengemasi pakaian dan memasukannya ke tas. Baik istri maupun mertua perempuan sedikit pun tidak bertanya mau kemana ataupun mau apa saat saya mengemasi pakaian lalu pergi dengan penuh kesedihan dari rumah itu. Hal inilah yang membuat sakit hati saya yang selanjutnya bakal jadi permasalahan perjalanan saya. Kepergian saya tanpa sedikitpun pertanyaan , rasa khawatir dan tidak adanya dari sang isrti dan mertua perempuan saya anggap sebagai pengusiran terhadap saya.

Saya pergi dari rumah dengan perasaan sedih karena tidak tahu harus kemana. Saat saya lagi berjalan bertemu dengan mang Eme, dia bertanya “rek kamana eman?” saya jawab dengan suara tertahan “teu nyaho mang, hampura uing, uing rek indit tanpa tujuan”, mamang pun bicara “ nu bener maneh rek kamama, tong didenge omongan indung bapa maneh nu goblog mah”, saya pun tidak memperdulikannya lagi dan terus berjalan tanpa tujuan.

Akhirnya saya singgah di pesantren nya Ustadz Udin di Ciparay. Dia membaca suasana dan sikap saya yang lagi sedih. Dia bertanya kenapa dan ada apa dengan saya. Saya pun menerangkan kejadian yang saya alami. Setelah saya ceritakan semuanya dia pun menyuruh agar saya tinggal aja dengan barudak (santrinya di sana). Berhari hari saya berada di pesantrenya, selanjutnya saya bolak balik ada ke kakak saya, ke adik bahkan sampai ke saudara-saudara (ke uak). Saya benar –benar jadi gelandangan yang makan hanya dari belas kasihan orang lain.

Ustad Udin adalah orang yang sering saya datangi untuk menceritakan apa saja masalah saya. Dia merupakan ustadz muda yang memiliki mushola tempat dimana anak-anak belajar ngaji dan tempat memperdalam ilmu agama buat orang dewasa. Dia juga termasuk teman saya sedari saya kecil.

Keadaan saya yang sedang jadi gelandangan ini tercium oleh majikan saya yang dulu. Maka disuruh nyalah saya mendatanginya.saya pun mendatanginya. Beliau menanyakan kenapa dan ada apa dengan saya. Saya pun ceritakan semuanya. Selanjutnya dia menawari untuk kembali bersamanya. Saya pun tidak langsung menerimanya dan beliaupun memberikan waktu kepada saya untuk berfikir dan kalau sudah ada kesanggupan tawarannya saya harus memberitahukannya. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan saya pun menerima tawarannya.

Tentang majikan saya, dia adalah orang yang telah membesarkan saya sejak saya masih kelas 6 SD ( tahun 1986). Berkat dialah saya bisa sekolah sampai ke tingkat aliyah ( SMA). Sgala biaya hidup saya di tanggungnya hingga saya mengaggap sebagai orang tua.

Mulailah saya bekerja lagi di tempat majikan saya yang dulu itu denga sedikit pun tidak mengharapkan gaji/bayaran yang penting bisa berteduh. Saya pun di suruh tidur di tokonya. Tiap bulan saya di kasih uang oleh dia saya kumpulkan . dan untuk menghindari fitnah saya pun mencatat keuangan saya dalam sebua buku catatan saya.

Tiap malam saya melamun kenapa nasib saya jadi begini. Mungkin ini dosa saya yang selalu menjauhi tuhan, dosa saya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ketidak mampuan saya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga ini sebenarnya bukan kemauan saya. Siapa suaminya yang tidak sayang kepada anak istri. Namun saya kemauan ini tidak di dukung kemampuan pada diri saya.

Namanya suami/kepala rumah tangga pasti memiliki rasa sayang kepada anak istrinya. Oleh karena itu tiap ada sedikit rizky saya titipkan ke teman atau tetangga untuk di berikan kepada anak istri.

Yang saya heran kenapa perhatian saya terhadap keluarga tidak di sertai respon dari sang istri dan kedua orang tuanya. Hal ini di buktikan oleh tidak adanya pertanyaan drimana saya bisa memberikan semua ini dan dimana sebenarnya saya berada saat ini. Atas dasar hal itulah membuat saya sering bertanya-tanya dalam hati. Tapi namanya hidup di kampung, dimanapun keberadaan seseorang pasti diketahuinya. Dan suatu ketika saya mendapat surat dari sang istri menyuruh saya pulang. Saya pun menyempatkan pulang untuk menengok anak istri, saya sempet tidur lagi di rumah. Tapi demi Allah saya tidak pernah lagi melakukan hubungan sebagai mana suami – istri lagi karena di samping saya menyadari bahwa sejak kepergian saya dari rumah sebenarnya sudah jatuh talak satu. Dan hal ini saya rujuk dari perjanjian waktu akad nikah bahwa jika seorang suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama tiga bulan berturut turut maka jatuh lah talak satu .

Kedatangan saya ke rumah memang disambut gembira oleh istri saya, itu saya lihat dari sikap istri yang mau berbicara dengan saya. Namun lain halnya dengan sikap mertua. Dia tetap dingindan tidak mau bertegur sapa dengan saya. Namun saya tidak memperdulikannya karena saya hanya bertanggung jawab terhadap anak istri bukan bertanggung jawab kepada mereka.

Namun bagai manapun saya orang normal, punya mata dan punya perasaan. Melihat sikap mereka seperti itu pun membuat saya gerah juga. Saya pun bertanya kepada sang istri, kenapa mereka tetap begitu. Kata istri saya dia pernah ngomong-ngomong masalah hutang yang Rp. 800.000. “o.... jadi itu mungkin masalahnya?” kata saya. Akhirnya ketika ada uang, saya bayar dulu Rp.200.000 sebagai tanda mengakui kalo saya punya utang dan sebagai cicilan karena belum mampu bayar sekaligus. Dengan satu harapan bahwa sikap orang tua bisa berubah. Tapi ternyata apa yang saya lakukan itu tidak membuat sikap mertua jadi berubah. Dengan satu tekad yang kuat akhirnya utang saya kepada mertua dapat di lunasi selama 2x pembayaran.

Namun sayang walaupun utang telah lunas dan saya kembali berkumpul dengan anak istri. Sikap mereka sama sekali tidak berubah. Apa maunya? Saya gak tahu. Saya mengangap bahwa mereka itu tidak mau menerima kehadiran saya di lingkungan keluarganya. Bahkan suatu ketika sebelum saya dapat melunasi utang itu saya sempat ribut dengan mertua perempun. Masalahnya saya dituduh kawin lagi, yang saat itu saya menolak tuduhan itu karena saya tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Dia menudu saya menikah engan orang Tasikmalaya, pernah juga menuduh saya kawin dengan orang sukaraja jatiwangi, pernah juga menuduh saya kawin dengan orang bandung. Semua saya sanggah dan menyuruh membuktikan kalau saya melakukan nya.

Saya ribut dengan mertua perempuan, sampai – sampai dia berteriak di luar rumah hingga semua tetangga tahu. Dia berteriak kalau saya punya hutang gak bayar, dan banyak lagi kata-kata yang menjatuhkan saya di hadapan tetanga.

Subhanallah .... apakah saya harus tetap bersabar diperlakukan seperti ini, apakah saya harus tetap bertahan hidup dilingkunga yang disertai oleh kedua orang tua yang sombong dan angkuhnya luar biasa dan dia merasa mampu memberi makan anak-cucunya hingga tidak memperdulikan dan menghargai saya sebagai menantunya yang nota bene sejelek jeleknya saya masih berharga bagi anak cucunya?

Saya ini laki-laki yang punya harga diri. Bahkan saya sempat bicara ke istri saya jangan hadirka sedikitpun celah untuk saya berbuat nekad dan berjalan terlalu jauh. Tapi bukannya celah iti di tutupi, malah semakin besar menganga memberikan jalan yang semakin luas kepada saya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya saya sendiri tidak menginginkannya.

Adanya sikap
· Setengah melakukan pengusiran
· Tidak bertegur sapa
· Menjelekan saya kepada orang lain
· Bikin gerah saat saya di rumah
· Memusuhi saya
· Tidak pernah mau tahu keberadaan, keadaan saya

Sikap tersebut adalah sikap yang yang membuka jalan saya semakin lebar.

Kabar tentang perkawina kedua pun tersebar lewat bisik bisik dari mulut ke mulut. Yang akhirnya terdengar oleh majikan saya dan saya di suruh membereskan dulu masalah saya setelah beres baru kembali lagi bekerja di tempatnya. Saya pun pulang kerumah berkumpul dengan anak istri. Namun sekali lagi jarak sebagai suami istri selalu saya lakukan karena talak satu menurut saya sudah jatu.

Kini saya sudah jadi korban segalanya. Jiwa raga saya tersiksa selamanya. Akhirnya jalan pintas pun terlaksana.

Adapun anggapan orang bawa saya melakukan hal ini karena banyak uang, nafsu, serakan, lupa anak istri dn lupa diri itu semua saya sanggah dan anggapan itu salah besarkarena tidak sesuai dengan kenyataan. Karena untuk bayar mahar saja sebelumnya saya dikasih dulu oleh calon istri kedua.

Sedangkan pabila ada orang yang menganggap bahwa keberadaan saya yang tidak diketahuinya merupakan penghindaran dari masalah karena tidak mau menyelesaikannya , itu juga kurang tepat, karena selama ini bukannya menghindar tapi terputusnya hubungan baik telpon maupun alamat antara saya dan orang- orang yang mengenal saya.

Dan apabila anak istri saya juga tetangga dan saudara dari istri saya menganggap bahwa saya telah menterlantarka dan melupakan dia, itu saya rasa prasangka yang kurang bijaksana. Karena kalau saya benar-benar melupakan anak istri, mungkin ke saudara saudara saya sendiri tidak akan melupakan. Tapi kenyataannya lain, tiga uak saya meninggal, satu anak saudara saya meninggal, saudara tua saya mengkhitan anaknya, sahabat saya maninggal,saudara saya berangkat haji mungkin saya hadir karena itu saudara saya sendiri yang terlepas dari masalah keluarga . tapi kenyataannya saya tidak hadir kenapa ? pertama karena saya tidak bisa pulang. Kenapa tidak bisa pulang ? karena tidak ada buat bekal di jalan.

Yang lebih fatal lagi orang mengaggap bahwa saya tidak perduli dengan anaknya walau dia sakit dan disunat. Hal ini saya sanggah dengan cucuran air mata. Karena saya punya alasan :

· Tidak ada kabar berita
· Merasa sedih karena anak kesayangan terbawa menderita padahal dia belum tahu apa-apa.

Sejelek- jelek dan seburuk buruknya kelakuan saya, jika anak yang menemui masalah apapun alasannya saya akan peduli kepadanya.

- Jika ada pertanyaan dari penonton kenapa saya tidak datang saat anak saya di khitan? Jawabannya : Karena saya tidak tahu, kalau saya tahu sejelek jeleknya saya pasti saya datang demi seorang anak yang paling saya sayangi.

- Untuk pertanyaan kenapa saya sampai tega menterlantarkan anak istri dannambang dawa istri saya selama 3 tahun lamanya, apakah ini suatu kesengajaan? Jawaban saya : di dunia ini tidak ada seorang suami yang sengaja bertekad untuk menterlantarkan anak istrinya. Seorang bajingan pun tak kan tega kalau melihat anak istrinya menderita. Namun demikian saya seperti ini tanpa suatu sebab. Karena kejadian ini merupakan asap dari api yang berkobar. Dari mana datang nya api itu ? hanya diketahui bila membaca kisah di atas sebelumnya dengan sedetail dan sejernih mungkin hati saat membaca dan menelaah.

- Kenapa saya seakan memusuhi mertua saya ? Jawaban saya : sebenarnya bukan saya yang memusuhi mereka, dan saya tidak bisa bilang “bahkan sebaliknya”. Untuk lebih jelasnya tanya saja indungna si ega tentang kenapa dan bagai mana mereka.

- Kenapa dalam 3 tahun terakhir saya tidak memberi kabar & berita apalagi nafkah? Jawaban saya : tolong telaah lagi kisah di atas.

- Kenapa sampai saya kawin lagi dan menyengsarakan anak dan istri? Jawaban saya : tolong telaah lagi kisah di atas.

Itulah kisah perjalanan saya yang tak kuat menahan badai rumah tangga . Semoga kisah hidup saya merupakan bahan kajian bagi khususnya saya sendiri umimnya bagi orang lain, bukan sebaliknya malah menjadi bahan cacian bagi diri si pelaku. Karena apapun alasannya diri anda mungkin tidak lebuh baik dari diri saya sebagai pelaku.

Ada akibat berarti ada sebab, bersikap obyektif untuk menelaah penyebabnya adalah lebih bijaksana. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, bersikaplah dewasa dan cerdik jangan asapnya yang dibenci tapi apinya yang harus diatasi.

Ada beberapa hal yang sangat saya sayangkan dari sikap penonton (saudara/teman/orang yang mengenal saya)atas prahara yang menimpa pada saya dan keluarga saya, diantaranya :

· Hanya bisa menyalahkan walau tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.

· Hanya bisa mencaci setelah terjadi sedangkan sebelumnya tak perduli.

Apabila ada bantahan, sanggahan dan pengingkaran dari lawan main saya, saya anggap itu suatu kewajaran namanya juga pertengkaran. Kalau sama ya bukan pertengkaran lagi namanya, tapi kebersamaan. Lagi pula pertengkaran dalam rumah tangga tidak bisa mendatangkan saksi yang akurat karena selama ini setiap pertengkaran selalu kami redam supaya orang lain tidak mengetahuinya.

Pesan untuk anda :

Berkaca lah apakah anda itu lebih baik dari saya?
Apa yang akan anda perbuat jika anda berada dalam posisi seperti saya?
Jadilah anda seorang laki-laki yang benar-benar laki-laki, jika anda perempuan jadilah perempuan yang sesungguhnya.

Saya tidak akan menyebut apa yang terjadi pada diri saya adalah takdir karena saya belum mendalami arti takdir yang sebenarnya. Saya hanya bisa bicara kenyataan dan saya tidak bisa menghindarinya. Kalau pun anda bilang “ kalau saya akan begini-begitu”, anda harus ingat bahwa Anda bukan saya dan saya bukan anda, karena anda dan saya otak dan hatinya berbeda maka saya dan anda mempunyai cara dan fikiran yang berbeda. Apa yang saya lakukan ini mungkin jelek menurut anda, begitupun apa yang anda lakukan belum tentu cocok buat saya.

Catatan kecil ini saya persembahkan buat :
· Anak istri tercinta
· Saudara
· Teman dan sahabat
· Tetangga dan kerabat
· Semua orang yang ingin tahu kisah kehancuran rumah tangga saya.

Seperti dituturkan Sdr Sulaeman dalam blognya


Post a Comment

 
Copyright © 2013 Srikandi & Bidadari
Design by FBTemplates | BTT